GIRINDRA
: Dunia Sejarah dalam cinta lama saya yang bersemi kembali
Oleh MH Maulana
buku GIRINDRA begitu menggoda untuk dibaca -bahkan sebelum terbit- karena mas siwi dan bunda selalu memprovokasi tentang masa lalu saya yang kebetulan menyenangi novel sejarah dan sering terlibat diskusi kecil-kecilan mengenai dunia sastra dan kesejarahan. Hasilnya, saya tahan dulu buku filsafatnya frans magnis suseno dan fokus menyetubuhi buku GIRINDRA.
GIRINDRA
mengangkat kembali kenangan saya pada babad tanah jawa sampai novel-novel wawan susetya dan gamal komandoko
tentang sejarah tokoh dan kerajaan-kerajaan di jawa. Begitu lihai mas siwi
memainkan kritik konstruksif pada babad, kakawin, sampai penulis sejarah
seperti slamet muljana, Bisa dibilang suatu gerakan dekonstruksi penulisan sejarah lama. Kemudian kembali masalah pertama, jika sejarah bergantung pada
penguasa saat itu, bukankah ketika prapanca menulis pujasastranya sesuai dengan
kehendaknya atau juga mungkin penulis lain yang selalu menyelipkan
kepentingan-kepentingan dalam tulisan yang digembor-gemborkan mengangkat suatu
objektifitas. Entah, apakah ini terjadi juga dengan mas siwi, yang jelas suatu
wacana baru tentang kesejarahan adalah hal yang selalu segar untuk
dinikmati.
Penulisan
dalam buku GIRINDRA seperti membuat ijtihad
dan penta’wilan baru dalam dunia
kesejarahan. Pernikahan penulisan sejarah dan sastra, Tulisan yang dibuat tidak
kaku seperti buku sejarah pada umumnya, dan aktifitas penalaran beserta
analisanya pun masih kental terasa. Beberapa pelajaran dan pendapat yang berani
dimunculkan dalam buku GIRINDRA, seperti penegasan bahwa kotaraja yang telah
dikuasai musuh tidak akan dijadikan kotaraja lagi, meskipun musuh telah dipukul
mundur setelahnya, karena dipercaya akan mendapat sial. Terlihat analisa mas
siwi dengan mengaitkan kejadian yang sama pada kerajaan yang terdahulu sampai
majapahit. Juga Strategi perkawinan
sebagai cara jitu untuk menyatukan wilayah kekuasaan, Kemudian mas siwi berani
terlepas dari mitos kesakralan cahaya nareswari ken dedes, dengan memaparkan
bahwa tindakan yang dilakukan ken arok adalah murni politik dan perencanaan
suatu kemegahan kerajaan dalam kemakmuran yang baru, bukan karena cinta dan
hasrat yang dilebih-lebihkan. Kemudian pelajaran dari peran erlangga, ken arok
dan ken dedes, sampai gayatri yang membagi wilayah kerajaan untuk menghindari
perang saudara. Meskipun pada akhirnya sejarah kerajaan medang sampai akhir
majapahit pun tidak bisa terlepas dari darah dan pemberontakan. Saya tertarik
sekali ketika mas siwi berani mengatakan bahwa gajahmada adalah putra raja
wijaya dari seorang selir, meskipun tidak disebutkan namanya. Hal ini
mengingatkan saya ketika mengunjungi gunung ratu di ngimbang, lamongan. Disana
terdapat sebuah makam ibunda gajahmada yang diyakini bernama nyai andongsari
bersama garangan putih dan kucing condromowo. Lokasi ini tidak jauh dari situs
ngimbang dan daerah bluluk yang kental dengan gajahmada. Juga ditambah suatu
kecamatan bernama modo. Terlepas dari itu mas siwi pun dengan berani memaparkan
bahwa gajahmada tidak meninggal seperti yang diceritakan prapanca, justru
prapanca dalam tulisannya menghebohkan tulisan itu untuk melindungi gajahmada
dari serbuan pihak yang ingin menggulingkannya. Dalam buku membaca sejarah
nusantara lama, gusdur berpendapat bahwa setelah kejadian yang membuat
gajahmada merasa begitu bersalah akhirnya menjadikan gajahmada melepas jubah
kebesarannya menuju kediri dan kelak menjadi syeikh disana sampai akhir
hayatnya. Baik gusdur ataupun mas siwi, juga mungkin penulis lain memiliki
Keberanian dan inovasi dalam sistem hirearki kepenulisanan sejarah, seperti jargon
mas siwi bahwa semua orang boleh menulis sejarah, tidak harus orang dengan
latar pendidikan sejarah.
Saya
terus membaca buku GIRINDRA bersama kopi hitam buatan ibuk di Gubuk Baca dan
Rokok gudang garam surya yang terus berkebul bersama cinta lama saya pada jawa,
nusantara, dunia beserta sejarahnya yang bersemi kembali. Saya pun kaget ketika
begitu menikmati baris-baris GIRINDRA tiba-tiba buku telah khatam dan terlihat
kalimat penggoda dari mas siwi untuk menunggu di GIRINDRA part 2. Tentunya juga
penantian pada novel KERTABUMI yang konon katanya memadukan keotentikan
sejarah, sastra, dan unsur penulisan
cerita silat ala ko ping ho. Entah nanti mungkin seperti senopati pamungkasnya
arswendo atau jurus tanpa bentuknya seno gumira yang jelas mas siwi pasti
menjadi pembeda dan saya akan selalu menunggu.
Comments
Post a Comment